Secara historis, pembebasan Baitul Maqdis dianggap di antara sebab keberadaan khilafah, termasuk era Umar Bin Khatab hingga kekhalifahan Abbasiyah
Oleh: Ali Mustofa Akbar
KETIKA membahas
tentang pembebasan Baitul Maqdis pada era Shalahuddin Al-Ayyubi, maka tidak
sedikit pihak yang mengenyampingkan peran dari kekhalifahan Abbasiyah waktu
itu. Padahal peran kekhalifahan Abbasiyah sangat signifikan.
Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal
sebagai orang yang sangat taat kepada khalifah Abbasiyah. Penghormatan ini
berasal dari keyakinannya akan kewajiban untuk menaati para khalifah Abbasiyah,
dan hal ini terlihat jelas dalam salah satu surat dari Al-Qadhi Al-Fadhil
kepada Khalifah Ahmad An-Nasr Lidinillah setelah Shalahuddin berhasil menguasai
Aleppo (Halab).
Dalam surat tersebut disebutkan:
"Tiga tujuan utama ini;
berjihad di jalan Allah, menahan diri dari mendzalimi hamba-hamba Allah, dan
menaati khalifah Allah. Adalah maksud utama dari tindakan sang pelayan
(Shalahuddin al Ayyubi) terhadap negeri-negeri yang dibukanya, serta kemuliaan
dunia yang diberikan Allah. Allah Maha Mengetahui bahwa ia tidak berperang
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman, melainkan hanya untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dianggap wajib."
Maka terjadilah simbiosis
mutualisme antara Dinasti Ayyubiyah (pemerintahan daerah) dengan Kekhalifahan
Abbasiyah (pemerintahan pusat) kala itu.
Pada akhir abad keenam Hijriyah
dan awal abad ketujuh Hijriyah, Dinasti Ayyubiyah berhasil menghidupkan kembali
pengaruh politik Abbasiyah di sebagian besar wilayah Timur dunia Islam.
Setelah Dinasti Ayyubiyah
berhasil mengakhiri Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 567 H / 1171 M,
mereka berhasil menaklukkan Yaman pada tahun 569 H / 1173 M, yang merupakan
salah satu benteng tertua dan terkuat bagi dakwah Fatimiyah.
Mereka berhasil menyingkirkan
pemimpin dakwah Fatimiyah di Yaman, Abdun Nabiy bin Mahdi, dan menyampaikan
khutbah untuk Abbasiyah di mimbar-mimbar Yaman.
Dari Yaman, mereka memperluas
pengaruhnya hingga ke Tanah Suci (Makkah dan Madinah), dan menyampaikan khutbah
untuk khalifah Abbasiyah di Baghdad di mimbar-mimbar Tanah Suci.
Hal ini memperkuat pengaruh
spiritual Khalifah Abbasiyah di dunia Islam, karena ia menjadi pelindung dua
kota suci, setelah Fatimiyah memonopoli peran ini dalam waktu yang cukup lama.
Di samping itu, Dinasti Ayyubiyah
juga mencoba untuk menggabungkan wilayah Barat dunia Islam dan merebutnya dari
Dinasti Muwahidun demi Abbasiyah. Shalahuddin sangat menjaga hubungan baik
dengan khalifah Abbasiyah, dan pendekatannya merupakan kelanjutan dari
pendekatan kepemimpinan Nuruddin Zanki.
Hubungan Shalahuddin Al-Ayyubi
dengan Abbasiyah tidak pernah buruk atau mencapai tingkat permusuhan. Meskipun
terkadang sempat meredup, hubungan tersebut tidak pernah mencapai kebencian
atau permusuhan.
Ketika Shalahuddin menjabat
sebagai wazir (menteri) dari Khalifah Fatimiyah Al-Adid pada tahun 567 H/1171
M. Setelah, Nuruddin Mahmud Zanki wafat, Tentara Salib memanfaatkan situasi
kacau di Syam dan menyerangnya.
Shalahuddin mengirim surat kepada
Khalifah Abbasiyah yang menggambarkan situasi politik di Syam serta serangan
Tentara Salib terhadap wilayah Muslim.
Ia juga menjelaskan upayanya
dalam mengakhiri Kekhalifahan Fatimiyah di Mesir, mengembalikan khutbah untuk
Abbasiyah, dan usahanya melawan Tentara Salib yang menyerang Alexandria di
Mesir, serta alasan ia menggabungkan Yaman ke dalam kekuasaannya.
Setelah surat panjang ini
diterima, di mana ia merinci pencapaiannya yang menegaskan kesetiaannya kepada
khalifah, ia meminta agar mendapat legitimasi kekuasaannya.
Khalifah Abbasiyah yang ke-34,
Ahmad An-Nasir Lidinillah, yang memberinya kemudian memberinya dukungan
finansial, perlengkapan, dan tentara yang dikirim dari pusat kekhalifahan.
Selain itu, ia juga memberinya
jaringan mata-mata yang dimiliki kekhalifahan, yang berperan besar dalam
mengumpulkan informasi tentang pasukan Salib, serta dalam menghentikan pengaruh
kaum Hasyashin yang bersekutu dengan pasukan Salib.
Hasyasyin atau dalam bahasa
Ingris disebut Assasin adalah sempalan dari sekte Syiah Ismailiyah Nizariyah
yang memisahkan diri dari Dinasti Fatimiyah pada akhir abad ke-5 Hijriyah.
Mereka adalah detasemen khusus
untuk melakukan operasi perlawanan khususnya para penguasa Sunni. Markas mereka
tersebar di Iran, Iraq, Suriah dan Lebanon, dibawah pimpinan Hasanas-Sabbah.
Mereka melakukan penyusupan
secara rahasia dan berani mati. Penyusupan mereka pun berhasil membunuh
beberapa tokoh Penguasa Sunni diantaranya seperti Khalifah Al-Mustarsyid dan
putranya ar-Rasyid Billah dari Abbasiyah, Perdana Menteri Dinasti Seljuk, Nizhamul
Mulk, pendiri Madrasah Nizhamiyah, dan lain-lain.
Khatimah
Artikel ini bukan sebagai
romantisme sejarah, namun sebagai khazanah keislaman yakni akan pentingnya
perjuangan Islam secara kaffah, berikhtiyar mengembalikan institusi pemersatu
umat dan pelaksana syariah Islam, yakni sitem warisan Nabi bernama khilafah
Islamiyyah.
Pertama, secara normatif, hal itu
adalah kewajiban bagi kaum muslim. Bahkan Syaikh Abdul Qadir Audah, Pembesar
Ikhwanul Muslimin, Mengatakan dalam kitabnya “Al-Islamu wa audho’una
as-siyasiyah” mengatakan: “Khilafah hukumnya adalah fardhu kifayah seperti
jihad dan peradilan. Jika telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat,
kewajiban itu gugur dari seluruh umat. Namun, jika belum terlaksana, seluruh
umat Islam berdosa hingga tegaknya urusan khilafah dan memenuhinya”.
Kedua, secara historis,
pembebasan Baitul Maqdis biidznillah juga di antara sebab keberadaan khilafah.
Pembebasan pertama pada masa Umar Bin Khatab, kemudian pembebasan kedua pada
masa kekhalifahan Abbasiyah.
Ketiga, secara faktual, melihat
fakta konstelasi politik internasional maka dibutuhkan kekuatan politik
sebanding dengan Amerika dan sekutunya yang menjadi Bidan sekaligus pelindung
Negri Zionis tersebut.
Maka umat Islam membutuhkan
persatuan hakiki dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Sedangkan nasionalisme dan
nation-state sistem warisan Barat nyata-nyata memecah belah umat Islam dan
mengkerangkeng mereka untuk menolong saudaranya di Palestina.
Tentu, sambil berproses kesana
usaha menolong saudara-saudara di Palestina harus terus digelorakan seperti
halnya jihad defensif sesuai kemampuan, seruan kepada penguasa muslim, seruan
pengiriman tentara muslim, berdoa, bantuan sosial, dan lain sebagainya.
Mungkin ada yang berkata, itu kan
masih lama. Keengganan anda untuk berjuang atau bahkan menghalang-halangi bisa
membuat semakin lama. Indahnya nasehat Syaikh Muhammad Ghazali berikut ini:
لا تُشغلوا أنفسكم بموعد النصر ، فإنه
فوق الرؤوس ينتظر كلمة من الله “كن فيكون” ، بل أشغلوا أنفسكم أين موقعكم بين الحق
والباطل
“Janganlah sibukkan dirimu dengan
kapan waktu datang pertolongan, karena sesungguhnya pertolongan itu sudah
berada di atas kepala (kita), tinggal menunggu satu kata dari Allah: “Kun
Fayakun” (Jadilah, maka terjadilah). Sebaliknya, sibukkan dirimu dengan di mana
posisimu antara kebenaran dan kebatilan.” Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar