SALAH satu keistimewaan Al-Quran adalah keotentikannya terjaga, tidak sebagaimana kitab agama lain. Salah satu sebab terjaganya hal tersebut adalah banyak kaum Muslimin yang menghafalkan Al-Quran di dalam dada-dada mereka.
Hal ini menyebabkan para penyeru kesesatan dan musuh-musuh Islam tidak mudah memanipulasi Al-Quran atau mengubahnya. Sebagaimana yang terjadi pada agama-agama terdahulu, seperti dikutip dalam Al-Quran:
فَبِمَا نَقۡضِهِمۡ مِّيۡثَاقَهُمۡ لَعَنّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوۡبَهُمۡ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوۡنَ الۡـكَلِمَ عَنۡ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوۡا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوۡا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَآٮِٕنَةٍ مِّنۡهُمۡ اِلَّا قَلِيۡلًا مِّنۡهُمۡ فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاصۡفَحۡ ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al-Maidah: 13).
Dalil pentingnya menghafal Al-Quran
بَلْ هُوَ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ فِى صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا ٱلظَّٰلِمُونَ
“Artinya: Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim.” (QS: Al-Akbabut: 49)
Maksud “dalam dada” bahwa ayat-ayat Al Quran terpelihara dalam dada dengan dihapal banyak kaum muslimin, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama, salah satunya oleh As-Suyuthi di dalam Al-Itqanfi Ulumul Qur’an, hukum menghafal seluruh ayat Al-Qur’an adalah fardhu kifayah atau kewajiban kolektif.
“Ketahuilah, sesungguhnya menghafal Al-Qur’an itu adalah fardhu kifayah bagi umat,” kata Imam asy Suyuti.
Pengertian fardhu kifayah sendiri adalah suatu kewajiban yang ditujukan kepada orang-orang yang telah mukallaf secara keseluruhan yang jika di antara mereka ada yang melaksanakannya maka gugurlah dosa yang lainnya, yakni yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Namun jika tidakada satupun yang melaksanakannya, maka berdosalah semuanya. Demikianlah menghafal Al-Qur’an.
la merupakan kewajiban yang jika ada sebagian orang menghafal seluruhnya, maka gugurlah dosa sebagian lain yang tidak menghafal seluruhnya. Namun jika tidak ada satupun yang menghafalnya, maka semuanya berdosa.
Kegiatan menghafal Al-Qur’an dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Tahfizhul Qur’an atau Hifzhul Quran. Pelakunya disebut hafidz (laki-laki) dan hafidzah (perempuan), jamaknya disebut huffadz.
Seorang menyandang gelar al-hafidz harus hafal al-Qur’an seluruhnya. Maka apabila ada orang yang telah hafal kemudian lupa atau lupa sebagian atau keseluruhan karena lalai atau lengah tanpa alasan seperti ketuaan atau sakit, maka tidak dikatakan hafidz dan tidak berhak menyandang pedikat”penghafal al-Qur’an”. (Metode Efektif Menghafal al-Qur’an, Abdu al-Rabb Nawabudin).
Ibnu ‘Abdl Barr mengatakan:
طلب العلمدرجات ورتب لاينبغي تعديها، ومنتعداها جملة فقدتعدى سبيل السلفرحمهم الله، فأولالعلم حفظ كتابالله عز وجلوتفهمه
“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, barangsiapa yang melaluinya maka ia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla dan memahaminya” (dinukil dari Limaadza Nahfadzul Qur’an, Syaikh Shalih Al Munajjid).
Menghafal Al-Qur’an merupakan sunnah yang diikuti karena Rasulullah ﷺ telah menghafal Al-Qur’an, bahkan dalam setiap tahun Rasulullah selalu mengulang hafalan Al-Qur’an bersama malaikat jibril.
“Menghafal Al Quran adalah mustahab (sunnah)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 89906).
Memberi penjelasan bagi para calon pengahafal Al-Quran
Imam Nawawi dalam kitab “At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an” menjelaskan beberapa adab bagi para penghafal Al-Quran yang perlu diperhatikan. Secara garis besar, menurut Imam Nawawi, ada beberapa poin utama:
Ikhlas. Orang yang menghafal Al-Quran harus meniatkan dirinya ikhlas karena Allah. Tujuannya bukan karena ingin dipuji, mendapat nilai yang baik, mendapatkan penghasilan, dan alasan-alasan lainnya.
Niat adalah syarat yang paling penting dalam masalah hafalan Al-Quran. Sebab, apabila seseorang melakukan sebuah perbuatan tanpa dasar mencari keridaan Allah semata, maka amalannya hanya akan sia-sia belaka.
Menyucikan hati dan diri.Saat mendatangi guru ataupun majelis Al-Quran berpenampilan sempurna serta menjauhkan diri dari hal-hal tercela yang bertolak belakang dengan ajaran Al-Quran.
Sikap tersebut juga termasuk membersihkan diri dari segala penyakit hati seperti iri, dengki, hasad, sombong dan penyakit hati lainnya. Hati yang bersih menandakan bahwa diri tersebut siap menerima segala keberkahan ilmu dari para guru.
Bukan untuk tujuan dunia. “Hendaknya seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak dan hal-hal seperti itu,” kata Imam Nawawi.
Saat ini sedikit sekali dijelaskan kepada para calon penghafal Al-Quran (hufadz), mengapa ayat-ayat Allah ini perlu dihafalkan?
Ujub dan riya’ merupakan bagian dari penyakit hati. Kedua penyakit hati ini mendapat perhatian yang serius dari para ulama khususnya ahli Al-Qur’an.
Sifat ujub dan riya’ adalah suatu hal yang dapat menghanyutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diteguhkan di jiwa. Kedua sifat ini seringkali ditanamkan setan tatkala seorang penghafal Al-Qur’an tampil di hadapan publik secara umum.
Oleh sebab itu penting bagi para peghafal Al-Qur’an untuk senantiasa menghindari kedua sifat ini, tanamkan dalam hati bahwa menghafal Al-Qur’an hanya karena Allah semata.
Karenanya, Buya Yahya Al-Bagja pernah mengkritik subuhnya sekolah tahfidz yang hanya sibuk menghafal Alquran tanpa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya sibuk menghafal tanpa mempelajari dan mengamalkan, hanya akan menghabiskan waktu dan usia.
Buya Yahya mengutip kata-kata Syaikh Sya’rawi yang menekankan bahwa pentingnya memahami dan mengamalkan Al-Quran bukan hanya sekadar menghafalnya. Yang lebih penting setelah menghafal adalah merenungkan, memahami, dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran.*
0 komentar:
Posting Komentar