Semua manusia cinta harta. Karenanya
bagi orang yang belum gemar bersedekah, adalah sesuatu yang kayaknya berat
menyisihkan sebagian rezekinya yang dicari dengan jerih payah hanya untuk
membantu orang lain.
Seringkali ketika ingin
bersedekah dan menafkahkan harta di jalan Allah, terkadang timbul bisikan
melarang dan menakut-nakuti. Itu adalah ulah setan, yang menakut-nakuti manusia
dengan takut miskin.
اَلشَّيْطٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاۤءِ ۚ وَاللّٰهُ يَعِدُكُمْ مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”. (QS: al-Baqarah [2]:268)
Para ilmuwan berbeda pendapat
tentang asal kata setan dan hakikatnya. Namun pakar-pakar bahasa Arab
menyatakan, bahwa syaithan (setan) merupakan kata Arab asli
yang sudah sangat tua, bahkan bisa jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang
digunakan oleh selain orang Arab.
Ini dibuktikan dengan adanya sekian
kata Arab asli yang dapat dibentuk dengan bentuk kata syaithan. Misalnya ( شطط) syathatha,
(شاط) syatha, ( شوط) syawatha,( شطن) syathana, yang
mengandung makna-makna jauh, sesat, berkobar dan terbakar serta ekstrim.
kata setan tidak terbatas pada
manusia dan jin, tetapi juga dapat berarti pelaku sesuatu yang buruk atau tidak
menyenangkan, atau sesuatu yang buruk dan tercela.
Bukankah setan merupakan lambang
kejahatan dan keburukan. Setan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, dalam
arti, bila manusia bermaksud bersedekah, ada bisikan dalam hati manusia yang
dibisikkan oleh setan, “Jangan bersedekah, jangan menyumbang, hartamu akan
berkurang, padahal engkau memerlukan harta itu, jika kamu menyumbang, maka kamu
akan terpuruk dalam kemiskinan.
Selain itu, setan juga menyuruh
berbuat fahisyah. Fahisyah yang dimaksud adalah
segala sesuatu yang dihimpun oleh apa yang dianggap sangat buruk oleh akal
sehat, agama, budaya, dan naluri manusia.
Dalam konteks ayat ini termasuk
kikir, menyebut-nyebut kebaikan yang diberikan, menyakiti hati pemberi, dan
sebagainya. Seorang yang kikir, apalagi yang memiliki kelebihan, kekikirannya
membuahkan dengki dan iri hati masyarakat, dan jika ini terjadi maka setan
menyuruh dan mendorong masyarakat untuk melakukan beragam kejahatan seperti
pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. (M. Quraisy Shihab, Tafsir
al-Misbah).
Awal mula penyakit ini adalah
kekikiran yang melahirkan sifat rakus untuk enggan bernafkah, dan pada
gilirannya menjadi lahan yang sangat subur bagi setan untuk mengantar kepada
aneka kejahatan.
Ibnu Katsir menekankan bahwa setan
memiliki misi untuk menghalangi manusia dari kebaikan. Dalam konteks ayat ini,
setan menakut-nakuti manusia dengan kemungkinan kemiskinan jika mereka
bersedekah atau berinfak.
Setan memengaruhi hati manusia agar
mereka berpikir bahwa harta yang dikeluarkan tidak akan tergantikan, sehingga
manusia memilih kikir atau enggan berinfak. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, Dar al-Fikr, jilid 1, hal 700-701)
Namun, Allah menawarkan sesuatu yang
berbeda. Allah menjanjikan “maghfirah” (ampunan atas dosa) dan “fadl” (karunia
atau rezeki yang melimpah) bagi orang-orang yang bersedekah. Ini menunjukkan
bahwa infak tidak hanya mendatangkan pahala akhirat tetapi juga membawa
keberkahan dunia.
Ibnu Katsir menutup tafsirnya dengan
menekankan bahwa godaan setan adalah tipu daya yang lemah bagi orang-orang
beriman.
Sedangkan Jalaluddin Al-Mahalli dan
Jalaluddin As-Suyuthi memberikan penjelasan yang ringkas tetapi padat.
Dijelaskan bahwa setan menggunakan ketakutan terhadap kemiskinan sebagai cara
untuk menghalangi manusia berinfak. Ketakutan ini sering kali berujung pada
kebakhilan, di mana seseorang enggan memberikan apa yang ia miliki kepada orang
lain atau untuk kepentingan agama.
Selain itu, setan juga mengajak
manusia pada “fahsyā’,” yang dapat berupa perbuatan maksiat atau dosa yang
menghalangi mereka dari ketaatan. (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin
As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar al-Hadith, hal 43).
Allah, sebaliknya, menjanjikan dua
hal: ampunan dosa dan kelimpahan rezeki. Tafsir ini menggarisbawahi bahwa Allah
selalu memberi lebih banyak dari apa yang manusia keluarkan di jalan-Nya, baik
dalam bentuk materi maupun non-materi.
Imam Al-Qurtubi menguraikan bahwa
setan menggunakan strategi ketakutan sebagai cara untuk menanamkan keraguan
dalam hati manusia. Ketakutan akan kefakiran ini dapat menyebabkan seseorang
enggan memberikan sebagian hartanya di jalan Allah, meskipun harta tersebut
sebenarnya adalah amanah dari Allah. (Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid 3, hal 347-348).
Ayat ini masih memiliki keterkaitan
dengan ayat sebelumnya, yaitu mendorong orang Mukmin untuk berinfak di jalan
Allah SWT, yaitu jalan kebaikan. Karena Allah SWT menjanjikan ampunan sebagai
balasan dari berinfak dan menjanjikan akan memberi ganti dan karunia berupa
harta dan rezeki.
Allah SWT memberi karunia karena Dia
Maha Kaya, gudang-gudang karunia-Nya tidak akan pernah habis. Allah SWT
mengetahui dimana meletakkan karunia tersebut dan untuk siapa. Allah SWT Maha
Mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang tampak. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir
al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), jilid II hlm. 93).
Ayat ini memberikan peringatan
tentang bisikan dan godaan setan, karena setan mengetahui tempat masuk untuk
menghalang-halangi manusia dari bersedekah di jalan Allah SWT.
Bersamaan dengan itu, setan juga
menyuruh manusia untuk bersikap kikir; melakukan kemaksiatan dan menyuruh
manusia untuk berinfak di jalan kemaksiatan. Barangsiapa yang dikaruniai hikmah
(ilmu ‘yang benar dan bermanfaat) dan pemahaman yang mendalam tentang
AI-Qur’an, maka ia telah dikaruniai sesuatu yang paling baik berupa kitab yang
mencakup seluruh ilmu para orang terdahulu berupa shuhuf dan yang lainnya.
Ayat ini juga mengandung anjuran
untuk menuntut ilmu dan mengagungkan kedudukan hikmah. Ayat ini juga mengandung
perintah untuk memanfaatkan akal untuk merenungi dan memikirkan sesuatu paling
mulia yang diciptakan untuknya. Sebagian orang bijak berkata, “Barangsiapa
yang dikaruniai ilmu dan Al-Qur’an maka ia harus mengetahui dan memahami siapa
dirinya sebenarnya (maksudnya menyadari kedudukannya). Oleh karena itu, ia
tidak boleh bersikap merendahkan diri di hadapan orang-orang yang memiliki
harta karena menginginkan harta mereka. Karena sebenarnya ia telah dikaruniai
sesuatu paling mulia dibanding apa yang diberikan kepada mereka. Allah SWT
menyebut kekayaan dunia sebagai mataa’un qaliil (kesenangan yang sedikit atau
sesaat).“*/ Ridha Alfahlevi, mahasiswa IAT (Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir) Semester 5 Universitas PTIQ Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar